Reflekesi Kegagalan Pergerakan Ditengah Surplus Pemimpin Seira di Daerah)
(Isu Andon Penangkapan Ikan Di Perairan Seira Dari Kabar, Kibar dan Kabur)
Mengawali tulisan ini. Izinkanlah saya untuk mengekspresikan sedikit perasaan kebatinan saya terkait nelayan andon yang saat ini masih bercokol di perairan seira. Gelisa adalah kata yang paling cocok untuk mewakilinya. Saya percaya bahwa kita semua pasti memiliki perasaan yang sama, namun cara kita untuk berekskpresi berbeda-beda dan saya lebih memilih untuk menarasikan perasaan saya dalam tulisan ini.
Berkaitan dengan itu, saya ingin mengajak kita semua untuk sejenak saja merenungi langkah-lagkah advokasi nelayan andon ini. Kalau boleh jujur, sudah banyak proses panjang nan melelahkan yang telah kita lewati secara bersama. Diawali dengan perdebetan yang sifatnya pragmatis sampai perdebatan yang sifatnya substantif, tanpa mengenal waktu berminggu-minggu. Dan, yang paling seru adalah setiap perdebatan selalu di balut dengan dua model pikiran antara setuju dan tidak setuju.
Dimana setiap perdebatan selalu dibangun dalam kerangka dialogis naratif kontra produktif yang melahirkan kesimpulan afirmatif. Artinya, tidak ada kata benar atapun salah, yang ada hanyalah satu kesimpulan yang sifatnya menegaskan langkah advokasi kita. Paling penting pula, bahwa langkah kita tidak hanya bersifat dialogis dalam group-group whatshap tersebut, tetapi telah bermetamorfosa ke ruang publik yang melahirkan berbagai keputusan baik di level kabupaten ataupun provinsi.
Meminjam pendapat upu Tulalessy Bram dalam dialog interaktif yang diselenggarakan oleh radio TVRI maluku bahwa perjuangan orang seira mesti menjadi roll model bagi orang maluku, karena sangat terstruktur, sistematis dan masif pergerakannya mulai dari desa sampai semua elemen masyarakat seira di berbagai kota secara nasional. Ditengah pujian tersebut, ada satu hal yang membuat saya sedih bahwa semua proses panjang dan melelahkan tersbut sepertinya tidak ada hasil. Tuntutan kita tidak gol. Alias nol besar.
Semua kita tentu tidak lupa begitu saja dengan pergerakan ini. Apakah itu tim Peduli Seira, Iklas-Saumlaki, Papua, Ambon, Jogja, Jakarta dan semua pihak yang tidak terorganisir dalam sistem organisasi namum tetap terlibat dalam pergerakan. Ditengah-tengah perjuangan yang tidak menuai hasil sedikitpun itu (Gubernur seakan mengabaikan semua tuntutan kita lewat Rekomendasi DPRD Provinsi Maluku, DPRD KKT ataupun Surat Pemda KKT), namun semua pihak tetap berdiam diri. Pertanyaan kritisnya, apakah semua proses advokasi ini hanya tentang kepentingan pragmatis kita masing-masing. Bagi para politisi seakan berpihak setengah hati untuk menunjukan kehebatan dialegtikanya dimasyarakat dan para pemebesar di daerah ini atau ini hanya sekedar untuk kepentingan elektoral di kemudiam hari.
Bagi para wakil rakyat, apakah ini tentang mewakili rakyat setengah hati dan setengah kapitalis atau setengah oligarki. Ataukah ini tentang wakil rakyat yang diam seribu bahasa, karena sementara membangun citra poltiknya di depan para pembesar daerah. Bagi para kaum intelek, apakah ini hanya sekedar wadah untuk menunjukan kehebatan argumentasi bahwa banyak intelek seira yang bisa bernalar dan bernarasi dengan baik dan sempurna untuk diketahui dunia.
Dan untuk organisasi ikatan keluarga lima satu seira (IKLAS), apakah kedepannya kita masih bisa menyebut diri sebagai wadah ideal yang akomodatif sebagai penyambung aspirasi ditengah-tengah kegalalan untuk memberikan yang terbaik bagi seira. Satu kata, sikap acuh, ego dan mau menang sendiri, merasa diri paling benar dan superior dari yang lain adalah kunci kegagalan kita semua.
Kelak nanti perjuangan ini tidak menuai hasil dan kemungkinan terpuruknya adalah berdirinya kampung buton di pulau selu atau wuryaru, maka itu legacy terburuk yang pernah kita berikan bagi generasi kita. Mudah-mudahan tidak terjadi. Tapi jika itu terjadi. Paling tidak beta pernah berpikir ke arah sana dan menuangkannya dalam tulisan ini untuk menggelisakan kita. Sebagai generasi yang hidup di erah big data, tulisan ini akan tersimpan rapih sebagai pengingat. Disi lain, segala pembicaraan kita yang sok superior yang dipotret rapih dengan teknologi sementara bersileweran di media sosial, kelak juga menjadi cambuk kegagalan kita bersama.
Sebagai anak daerah yang menentang adanya praktek nelayan andon di perairan seira ini, saya akan mengemukakan tiga alasan kenapa saya menolak praktek tersebut. Pertama laut adalah masa depan. Kedua, selu dan wuryaru adalah tumpuhan hidup. Ketiga, praktek nelayan andon di maluku tidak sesuai semangat otonomisasi.
Laut adalah masa depan masyarakat seira.
Secara turun temurun eksistensi masyarakat seira sangat tergantung di laut. Tidak ada satu orangpun dapat membatah itu. Tengok saja histori seira bahwa, kebanggaan para leluhur seira yang di lestarikan dalam bentuk kawe dan larleru, banyak menggambarkan kekayaan alam laut seira. SMP AMPERA Seira pertama kali memiliki bangunan layak (beton) dan Gereja Seira (terbesar di GPM, Maluku dan Maluku Utara) yang berdiri kokoh sebagai lambang kembanggan orang seira, pembangunannya di subsidi oleh kekayaan laut. Per hari ini ratusan Sarjana dan Magister anak seira juga disubsidi oleh penghasilan orang tua dari laut.
Pada aspek sosial ekonomi realitas masyarkat seira telah mengalami suatu pergeseran nilai. Tradisi masyarakat yang sering menggabungkan antara profesi agraria (petani) dan masyarakat bahari/aquis (nelayan), telah berubah menjadi masyarakat bahari yang menggantungkan kehidupan mereka secara penuh pada sektor perikanan dan kelautan. Karena itu di masa depan, sektor perikanan dan kelautan adalah tumpuhan kehidupan masyarakat seira. Saat ini memang belum ada penelitian yang bisa saya jadikan sebagai rujukan data, namum secara objektif bisa kita observasi sendiri bahwa sebagian besar masyarakat seira enggan lagi untuk melakoni profesi bertani (agriculture), ketimbang budidaya rumput laut (aqua culture).
Pulau Selu dan Wuryaru Adalah Tumpuhan Hidup Masyarakat Seira. Secara geoekonomi tumpuhan masyarakat seira akan bergeser ke pulau selu dan wuryaru. Perkembangan populasi manusia di pulau seira kedepan akan terus meningkat sedangkan, disisi yang lain pulau (lahanynya) cenderung statis atau tidak bertambah. Begitu juga dengan seira. Sebagai pulau kecil yang memiliki jumlah populasi banyak (padat). Kebutuhan ruang akan terus bertambah kedepan untuk aktivitas sosial ekonomi.
Sebagai pulau kosong yang kaya akan sumberdaya alamnya tentu pulau selu dan wuryaru merupakan cadangan potensial bagi masyarakat seira di hari depan. Pulau seira saat ini daratnya cenderung habis di konversi untuk pertanian dan pembangunan sedangkan lautnya sudah hampir habis. Beruntung kita memiliki pulau ngolin dan kalenan yang masih menjadi tumpuhan ekonomi di bidang aqua culture (budidaya rumput laut) saat ini. Namum apa jadinya ketika populasi masyarakat seira yang terus berkembang dan bertambah 10 sampai 20 tahun kedepan. Dapat dipastikan bahwa kedua pulau tersebut tidak mampu lagi mengakomodasi semua kepentingan masyarakat seira.
Praktek Nelayan Andon di seira bertentangan dengan aturan. Ditengah perdebatan legal dan tidaknya praktek nelayan andon di perairan seira. Sebagai penulis saya memiliki sudut pandang tersendiri. Dari rfersensi yang pernah saya baca bahwa nelayan andon adalah komunitas nelayan tradisional Indonesia yang memiliki tradisi penangkapan ikan mengikuti arah angin dan musim.
Sesuai peraturan menteri peikanan no 36 tahun 2014 bahwa terjadinya andon penangkapan ikan jika telah ada MOU (memorandum of understanding) atau nota kesepahaman antara kedua Gubernur. Dalam konteks ini adalah Gubenur asal nelayan andon (gubernur sulawesi) dan Gubernur Maluku. Berkaitan dengan itu, kebijakan izin tangkap yang dikeluarkan pemerintah provinsi sangat menyalai peraturan menteri perikanan tersebut, pasalnya belum ada MOU antara kedua gubernur dimaksud. Sejalan dengan itu, belum ada perda ataupun peraturan kepala daerah sebagai payung hukum dalam mengatur aspek pelaksanan, evaluasi dan pengendalian andon penangkapan ikan di provinsi maluku.
Satu-satunya alasan yang melatarbelakangi masuknya andon penangkapan ikan di maluku (seira) melalui jargon investasi sehingga Izin yang diberikan oleh pemda kepada nelayan andon di seira adalah izim umum (sumber data: hasil investigasi IKLAS-Ambon di PTSP Maluku), bukan izin andon penagkapan ikan. Ini sangat menyalai aturan mentri perikanan. Akibatnya sangat fatal. Hadirnya nelayan andon di seira telah mengabil alih peran pemanfaatan sumberdaya telur ikan terbang yang bernilai milyaran rupiah ini (sumberdaya kelas ekspor), ditengah profesi masyarakat seira sebagai masyarakat bahari.
Lebih memprihatinkan lagi bahwa kebijakan menghadirkan Andon Penangkapan Ikan ini tanpa di barengi dengan semangat pemberdayaan masyarakat seira sehingga kedepannya mereka mampu mengelolah sumberdaya tersebut secara mandiri. Menurut pandangan subjektif saya sebagai penulis, kebijakan ini sangat tidak mencerminkan semangat otonomisasi daerah dan di duga ada niat terselubung oleh elit daerah untuk merampok sumberdaya alam berkedok kebijakan legal.
Berkaitan dengan semua hal yang telah dipaparkan. Sebagai penulis, saya sangat merasa gelisah dengan masalah ini. Bahwa masa depan seira sangat tergantung dengan sikap kita hari ini. Apakah terus melangkah untuk mengekseskusi segala tuntutan kita atau kita tetap berdiam diri untuk memberikan legacy buruk bagi generasi seira kedepannya. Keputusan ada ditangan kita masing-masing.
Ubu Naflaar Didtinemun
Penulis: Gerson Balak (Relawan Komunitas Seira Cerdas)
Komentar
Posting Komentar